rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Pages

HADITS MUTAWATIR

Nama: Nafid B.A
Nim : 07310045

PEMBAGIAN HADITS DITINTAU DARI JUMLAH PERAWI

Hadits ditinjau dari adad dan periwayatannya itu terbagi kepada dua bagian :
1. Hadits Mutawatir
2. Hadits Ahad

A. HADITS MUTAWATIR
Pengertiannya :
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan.
Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”.



Syarat-Syaratnya :
Dari definisi di atas jelaslah bahwa hadits mutawatir tidak akan terwujud kecuali dengan empat syarat berikut ini :
1. Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
2. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
3. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta.
4. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
Apakah untuk Mutawatir Disyaratkan Jumlah Tertentu ??
1. Jumhur ulama berpendapat bahwasannya tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam mutawatir. Yang pasti harus ada sejumlah bilangan yang dapat meyakinkan kebenaran nash dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

2. Diantara mereka ada yang mensyaratkan dengan jumlah tertentu dan tidak boleh kurang dari jumlah tersebut.
a. Ada yang berpendapat : Jumlahnya empat orang berdasarkan pada kesaksian perbuatan zina.
b. Ada pendapat lain : Jumlahnya lima orang berdasarkan pada masalah li’an.
c. Ada yang berpendapat lain juga yang mengatakan jumlahnya 12 orang seperti jumlah pemimpin dalam firman Allah (yang artinya) : ”Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. Al-Maidah ayat 12).
Ada juga yang berpendapat selain itu berdasarkan kesaksian khusus pada hal-hal tertentu, namun tidak ada ada bukti yang menunjukkan adanya syarat dalam jumlah ini dalam kemutawatiran hadits.

Pembagian Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir terbagi menjadi dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdhy dan Mutawatir Ma’nawi .

1. Mutawatir Lafdhy adalah apabila lafadh dan maknannya mutawatir. Misalnya hadits (yang artinya) : ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.

2. Mutawatir Ma’nawy adalah maknannya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.
Keberadaannya:
Sebagian di antara mereka mengira bahwa hadits mutawatir tidak ada wujudnya sama sekali. Yang benar (insyaAllah), bahwa hadits mutawatir jumlahnya cukup banyak di antara hadits-hadits yang ada. Akan tetapi bila dibandingkan dengan hadits ahad, maka jumlahnya sangat sedikit.
Misalnya : Hadits mengusap dua khuff, hadits mengangkat tangan dalam shalat, hadits tentang telaga, dan hadits : ”Allah merasa senang kepada seseorang yang mendengar ucapanku…..” dan hadits ”Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf”, hadits ”Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun untuknya rumah di surga”, hadits ”Setiap yang memabukkan adalah haram”, hadits ”Tentang melihat Allah di akhirat”, dan hadits ”tentang larangan menjadikan kuburan sebagai masjid”.

Mereka yang mengatakan bahwa hadits mutawatir keberadaannya sedikit, seakan yang dimaksud mereka adalah mutawatir lafdhy, sebaliknya…..mutawatir ma’nawy banyak jumlahnya. Dengan demikian, maka perbedaan hanyalah bersifat lafdhy saja.

Hukum Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan kita akan adanya Makkah Al-Mukarramah, Madinah Al-Munawarah, Jakarta, New York, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka hadits mutawatir adalah qath’I tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya .

B. KHABAR AHAD

Pengertiannya :
Khabar Ahad menurut bahasa jama dari kata ahada yang artinya satu, dan apa-apa yang diriwayatkan oleh satu rowi saja.
Dan menurut istilah adalah apa-apa yang mempunyai satu jalan dan a da yang berpendapat apa-apa yang tidak berkumpul padanya syarat mutawatir.
Pembagiannya :
Khabar Ahad terbagi menjadi tiga bagian :
1. Mashur
2. Aziz
3. Gharib
a. MASYHUR
Pengertiannya :
Masyhur menurut bahasa adalah berita yang terkenal secara lisan sekalipunkeadaan nya berdusta.
Sedangkan menurut istilah adalah apa-apa yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan akan tetapi tidak akan sampai batas kemutawatirannya.
Sedangkanmenurut Ibnu Hajar Al Asqolani : Masyhur dalah apa-apa yang mempunyai beberapa jalan yang yang lebih dari dua rowi akan tetapi tidak sampai pada derajat mutawatir.
Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir.
Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi (artinya) : ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan” (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).

Hadits masyhur ini juga disebut dengan nama Al-Mustafidh.

Hadits masyhur di luar istilah tersebut dapat dibagi menjadi beberapa macam yang meliputi : mempunyai satu sanad, mempunyai beberapa sanad, dan tidak ada sanad sama sekali; seperti :a. Masyhur di antara para ahli hadits secara khusus, misalnya hadits Anas : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah berdiri dari ruku’ berdoa untuk (kebinasaan) Ra’l dan Dzakwan” (HR. Bukhari dan Muslim
b. Masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama dan orang awam, misalnya : ”Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
c. Masyhur di antara para ahli fiqh, misalnya : ”Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq” (HR. Al-Hakim; namun hadits ini adalah dla’if).
d. Masyhur di antara ulama ushul fiqh, misalnya : ”Telah dibebaskan dari umatku kesalahan dan kelupaan…..” (HR. Al-hakim dan Ibnu Hibban).

e. Masyhur di kalangan masyarakat umum, misalnya : ”tergesa-gesa adalah bagian dari
perbuatan syaithan” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan. Lihat Nudhatun-Nadhar halaman 26 dan Tadribur-Rawi halaman 533).
Macam-macamnya “
- Mutlaq : adalah apa-apa yang tekenal diantara Ahli-ahli hadist dan yang lainnya
- Muqoyad : Adalah apa-apa yang terkenal dikalangan ahli-ahli yang khusus dikalangan rowi yang cacat.
b. AZIZ
Pengertiannya :
Aziz menurut istilah apa-apa yang diriwayatkan oleh dua rowi atau lebih
Dan ada yang berpendapat bahwasanya aziz itu apa-apa yang diriwayatkan oleh dua rowi dalam satu tobaqoh.
Contohnya : Nabi shallallaahu bersabda : ”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia” (HR. Bukhari dan Muslim; dengan sanad yang tidak sama).
Keterangan : Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalan Anas. Dan diriwayatkan pula oleh Bukhari dari jalan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma.
Susunan sanad dari dua jalan tersebut adalah : Yang meriwayatkan dari Anas = Qatadah dan Abdul-‘Aziz bin Shuhaib. Yang meriwayatkan dari Qatadah adalah Syu’bah dan Sa’id. Yang meriwayatkan dari Abdul-‘Aziz adalah Isma’il bin ‘Illiyah dan Abdul-Warits.
c. Gharib
Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan hadits gharib secara istilah adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri.
Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib).
Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard.
Pembagian Hadits Gharib
Hadits gharib dilihat dari segi letak sendiriannya dapat terbagi menjadi dua macam :
1. Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :

”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits..
2. Gharib Nisbi, disebut juga : AL-Fardun-Nisbi; yaitu apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu ‘anhu : ”Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mesuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya”” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.

C. IMAM SYAFI'I DAN PENGINGKAR HADITS AHAD
Usaha untuk menggunakan dalil yang jelas untuk membangun Aqidah Umat Islam dengan jalan membatasinya pada dalil-dalil Qoth’I, terus kami lakukan. Dan untuk memberikan keyakinan tentang masalah ini kami akan mengetengahkan argumentasi dari para Imam panutan umat untuk membantah mereka yang menyangkal prinsip yang mulia ini.
Salah sate argumentasi yang mereka ketengahkan untuk mendukung pendapat mereka adalah adanya klaim bahwa para Imam termasuk Imam Empat Madzab a.l: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal, dimana mereka telah sepakat bahwa periwayatan secara Ahad (khobar Ahad-pent) memberikan pengetahuan yang pasti dan dapat digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah.
Dan apa yang sesungguhnya dikatakan para Imam bertentangan dengan klaim diatas. Faktanya tatkala kita membaca Kitab yang ditulis para Imam ini dan para muridnya dan para Ulama sesudahnya yang mengikuti jejak para Imam Ahlus Sunnah ini, akan mendapatkan bahwa mereka berpegang dengan pendapat yang menyatakan bahwa: “Khobar Ahad tidak memberikan pengetahuan yang pasti (dzon-pent)”, tetapi khobar ini memberikan pengetahuan minimal dugaan keras (dzon rajih), walaupun terbukti bahwa sanadnya shohih dan digunakan hanya sebagai dalil dalam masalah amal perbuatan, tetapi tidak dalam masalah aqidah.
Banyak orang telah menyatakan bahwa para Imam menerima hadis ahad sebagai dalil yang memberi kepastian (qoth’I-pent) dan digunakan sebagai dalil dalam masalah aqidah. Bagaimanapun apa yang telah mereka lakukan, jelas merupakan penukilan yang tidak sesuai dengan pernyataan para Imam khususnya Imam Empat Madzab. Para Imam ini membuat berbagai pernyatan berkaitan berkaitan dengan masalah khobar ahad, dalam rangka membantah pendapat kelompok-kelompok bid’ah pada masanya, yang telah menolak khobar ahad sebagai dalil secara keseluruhan baik dalam masalah aqidah atau masalah amal perbuatan.
Untuk dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang posisi para Imam dalam masalah ini, kita harus mengkaji secara langsung dari kitab-kitab yang ditulis oleh para Imam ini dan para murid-muridnya yang terpercaya. Dimana mereka (murid para Imam-pent) mendengar dan mendapat penjelasan secara langsung dari para gurunya. Pemahaman mereka terhadap masalah ini (masalah khobar ahad-pent) merefleksikan pemahaman para gurunya, dan sudah seharusnya kita mempercayai pemahaman mereka lebih dari pemahaman kita sendiri setelah mengkaji dan mempelajari kitab para Ulama tersebut.
Oleh karena itu marilah kita meneliti apa pedapat Imam Empat Madzab dan para muridnya dan para Ulama sesudahnya yang menjadi pengikutnya sebagai berikut:
Imam Syafi’I berkata: Setiap apa saja yang datang dari Sunnah adalah penjelasan Kitabullah. Maka setiap orang yang menerima hal-hal yang Fardhu dari Allah yang terdapat dalam Al Qur`an, ia mesti menerima Sunnah-sunnah Rasul-Nya, karena Allah mewajibkan makhluk-Nya untuk mentaati Rasul-Nya dan mematuhi hukum-hukumnya. Juga orang-orang yang menerima apa yang datang dari Rasululloh, berarti ia menerima apa yang datang dari Allah, karena Allah telah mewajibkan kita untuk mentaati-Nya. ( Ar risalah:33).
Berikut ini contoh orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus dalam masalah ini:
a. Kelompok yang menolak sunnah secara keseluruhan ( kelompok ini dikenal dengan quraniyun)
b. Kelompok yang menolak hadits ahad baik dalam hukum atau aqidah.
c. Kelompok yang menolak hadits ahad dalam aqidah. Mereka hanya berhujah denga hadits mutawatir.
d. Kelompok yang menolak Hadits dengan alasan bertentangan dengan zhohir Al Qur`an.
e. Kelompok yang menolak Hadits dengan alasan bertentangan dengan akal.
f. Kelompok yang menolak Hadits dengan alasan bertentangan dengan penemuan ‘ilmiah.
Diantara kelompok yang terang-terangan menolak sunnah adalah Kaum Rofidoh, yang mengkafirkan jumhur As Shohabat. Karena mengkafirkan para shohabat berarti penolakan terhadap sunnah secara total.
Para tokoh pengingkar Sunnah, diantaranya:
•Abdullah bin saba’ Al Yahudi
•Suusan An Nashrani
•Ibrohim An Nadzom Al Mu’tazili
•Bisyir Al Mirisi
•Jahm bin Shofwan
•Muhammad ‘Abduh.
















Nama: Nafid B.A
Nim : 07310045

PEMBAGIAN HADITS DITINTAU DARI JUMLAH PERAWI

Hadits ditinjau dari adad dan periwayatannya itu terbagi kepada dua bagian :
1. Hadits Mutawatir
2. Hadits Ahad

A. HADITS MUTAWATIR
Pengertiannya :
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan.
Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”.

Syarat-Syaratnya :
Dari definisi di atas jelaslah bahwa hadits mutawatir tidak akan terwujud kecuali dengan empat syarat berikut ini :
1. Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
2. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
3. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta.
4. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
Apakah untuk Mutawatir Disyaratkan Jumlah Tertentu ??
1. Jumhur ulama berpendapat bahwasannya tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam mutawatir. Yang pasti harus ada sejumlah bilangan yang dapat meyakinkan kebenaran nash dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

2. Diantara mereka ada yang mensyaratkan dengan jumlah tertentu dan tidak boleh kurang dari jumlah tersebut.
a. Ada yang berpendapat : Jumlahnya empat orang berdasarkan pada kesaksian perbuatan zina.
b. Ada pendapat lain : Jumlahnya lima orang berdasarkan pada masalah li’an.
c. Ada yang berpendapat lain juga yang mengatakan jumlahnya 12 orang seperti jumlah pemimpin dalam firman Allah (yang artinya) : ”Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. Al-Maidah ayat 12).
Ada juga yang berpendapat selain itu berdasarkan kesaksian khusus pada hal-hal tertentu, namun tidak ada ada bukti yang menunjukkan adanya syarat dalam jumlah ini dalam kemutawatiran hadits.

Pembagian Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir terbagi menjadi dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdhy dan Mutawatir Ma’nawi .

1. Mutawatir Lafdhy adalah apabila lafadh dan maknannya mutawatir. Misalnya hadits (yang artinya) : ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.

2. Mutawatir Ma’nawy adalah maknannya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.
Keberadaannya:
Sebagian di antara mereka mengira bahwa hadits mutawatir tidak ada wujudnya sama sekali. Yang benar (insyaAllah), bahwa hadits mutawatir jumlahnya cukup banyak di antara hadits-hadits yang ada. Akan tetapi bila dibandingkan dengan hadits ahad, maka jumlahnya sangat sedikit.
Misalnya : Hadits mengusap dua khuff, hadits mengangkat tangan dalam shalat, hadits tentang telaga, dan hadits : ”Allah merasa senang kepada seseorang yang mendengar ucapanku…..” dan hadits ”Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf”, hadits ”Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun untuknya rumah di surga”, hadits ”Setiap yang memabukkan adalah haram”, hadits ”Tentang melihat Allah di akhirat”, dan hadits ”tentang larangan menjadikan kuburan sebagai masjid”.

Mereka yang mengatakan bahwa hadits mutawatir keberadaannya sedikit, seakan yang dimaksud mereka adalah mutawatir lafdhy, sebaliknya…..mutawatir ma’nawy banyak jumlahnya. Dengan demikian, maka perbedaan hanyalah bersifat lafdhy saja.

Hukum Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan kita akan adanya Makkah Al-Mukarramah, Madinah Al-Munawarah, Jakarta, New York, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka hadits mutawatir adalah qath’I tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya .

B. KHABAR AHAD

Pengertiannya :
Khabar Ahad menurut bahasa jama dari kata ahada yang artinya satu, dan apa-apa yang diriwayatkan oleh satu rowi saja.
Dan menurut istilah adalah apa-apa yang mempunyai satu jalan dan a da yang berpendapat apa-apa yang tidak berkumpul padanya syarat mutawatir.
Pembagiannya :
Khabar Ahad terbagi menjadi tiga bagian :
1. Mashur
2. Aziz
3. Gharib
a. MASYHUR
Pengertiannya :
Masyhur menurut bahasa adalah berita yang terkenal secara lisan sekalipunkeadaan nya berdusta.
Sedangkan menurut istilah adalah apa-apa yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan akan tetapi tidak akan sampai batas kemutawatirannya.
Sedangkanmenurut Ibnu Hajar Al Asqolani : Masyhur dalah apa-apa yang mempunyai beberapa jalan yang yang lebih dari dua rowi akan tetapi tidak sampai pada derajat mutawatir.
Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir.
Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi (artinya) : ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan” (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).

Hadits masyhur ini juga disebut dengan nama Al-Mustafidh.

Hadits masyhur di luar istilah tersebut dapat dibagi menjadi beberapa macam yang meliputi : mempunyai satu sanad, mempunyai beberapa sanad, dan tidak ada sanad sama sekali; seperti :a. Masyhur di antara para ahli hadits secara khusus, misalnya hadits Anas : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah berdiri dari ruku’ berdoa untuk (kebinasaan) Ra’l dan Dzakwan” (HR. Bukhari dan Muslim
b. Masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama dan orang awam, misalnya : ”Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
c. Masyhur di antara para ahli fiqh, misalnya : ”Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq” (HR. Al-Hakim; namun hadits ini adalah dla’if).
d. Masyhur di antara ulama ushul fiqh, misalnya : ”Telah dibebaskan dari umatku kesalahan dan kelupaan…..” (HR. Al-hakim dan Ibnu Hibban).

e. Masyhur di kalangan masyarakat umum, misalnya : ”tergesa-gesa adalah bagian dari
perbuatan syaithan” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan. Lihat Nudhatun-Nadhar halaman 26 dan Tadribur-Rawi halaman 533).
Macam-macamnya “
- Mutlaq : adalah apa-apa yang tekenal diantara Ahli-ahli hadist dan yang lainnya
- Muqoyad : Adalah apa-apa yang terkenal dikalangan ahli-ahli yang khusus dikalangan rowi yang cacat.
b. AZIZ
Pengertiannya :
Aziz menurut istilah apa-apa yang diriwayatkan oleh dua rowi atau lebih
Dan ada yang berpendapat bahwasanya aziz itu apa-apa yang diriwayatkan oleh dua rowi dalam satu tobaqoh.
Contohnya : Nabi shallallaahu bersabda : ”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia” (HR. Bukhari dan Muslim; dengan sanad yang tidak sama).
Keterangan : Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalan Anas. Dan diriwayatkan pula oleh Bukhari dari jalan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma.
Susunan sanad dari dua jalan tersebut adalah : Yang meriwayatkan dari Anas = Qatadah dan Abdul-‘Aziz bin Shuhaib. Yang meriwayatkan dari Qatadah adalah Syu’bah dan Sa’id. Yang meriwayatkan dari Abdul-‘Aziz adalah Isma’il bin ‘Illiyah dan Abdul-Warits.
c. Gharib
Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan hadits gharib secara istilah adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri.
Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib).
Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard.
Pembagian Hadits Gharib
Hadits gharib dilihat dari segi letak sendiriannya dapat terbagi menjadi dua macam :
1. Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :

”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits..
2. Gharib Nisbi, disebut juga : AL-Fardun-Nisbi; yaitu apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu ‘anhu : ”Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mesuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya”” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.

C. IMAM SYAFI'I DAN PENGINGKAR HADITS AHAD
Usaha untuk menggunakan dalil yang jelas untuk membangun Aqidah Umat Islam dengan jalan membatasinya pada dalil-dalil Qoth’I, terus kami lakukan. Dan untuk memberikan keyakinan tentang masalah ini kami akan mengetengahkan argumentasi dari para Imam panutan umat untuk membantah mereka yang menyangkal prinsip yang mulia ini.
Salah sate argumentasi yang mereka ketengahkan untuk mendukung pendapat mereka adalah adanya klaim bahwa para Imam termasuk Imam Empat Madzab a.l: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal, dimana mereka telah sepakat bahwa periwayatan secara Ahad (khobar Ahad-pent) memberikan pengetahuan yang pasti dan dapat digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah.
Dan apa yang sesungguhnya dikatakan para Imam bertentangan dengan klaim diatas. Faktanya tatkala kita membaca Kitab yang ditulis para Imam ini dan para muridnya dan para Ulama sesudahnya yang mengikuti jejak para Imam Ahlus Sunnah ini, akan mendapatkan bahwa mereka berpegang dengan pendapat yang menyatakan bahwa: “Khobar Ahad tidak memberikan pengetahuan yang pasti (dzon-pent)”, tetapi khobar ini memberikan pengetahuan minimal dugaan keras (dzon rajih), walaupun terbukti bahwa sanadnya shohih dan digunakan hanya sebagai dalil dalam masalah amal perbuatan, tetapi tidak dalam masalah aqidah.
Banyak orang telah menyatakan bahwa para Imam menerima hadis ahad sebagai dalil yang memberi kepastian (qoth’I-pent) dan digunakan sebagai dalil dalam masalah aqidah. Bagaimanapun apa yang telah mereka lakukan, jelas merupakan penukilan yang tidak sesuai dengan pernyataan para Imam khususnya Imam Empat Madzab. Para Imam ini membuat berbagai pernyatan berkaitan berkaitan dengan masalah khobar ahad, dalam rangka membantah pendapat kelompok-kelompok bid’ah pada masanya, yang telah menolak khobar ahad sebagai dalil secara keseluruhan baik dalam masalah aqidah atau masalah amal perbuatan.
Untuk dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang posisi para Imam dalam masalah ini, kita harus mengkaji secara langsung dari kitab-kitab yang ditulis oleh para Imam ini dan para murid-muridnya yang terpercaya. Dimana mereka (murid para Imam-pent) mendengar dan mendapat penjelasan secara langsung dari para gurunya. Pemahaman mereka terhadap masalah ini (masalah khobar ahad-pent) merefleksikan pemahaman para gurunya, dan sudah seharusnya kita mempercayai pemahaman mereka lebih dari pemahaman kita sendiri setelah mengkaji dan mempelajari kitab para Ulama tersebut.
Oleh karena itu marilah kita meneliti apa pedapat Imam Empat Madzab dan para muridnya dan para Ulama sesudahnya yang menjadi pengikutnya sebagai berikut:
Imam Syafi’I berkata: Setiap apa saja yang datang dari Sunnah adalah penjelasan Kitabullah. Maka setiap orang yang menerima hal-hal yang Fardhu dari Allah yang terdapat dalam Al Qur`an, ia mesti menerima Sunnah-sunnah Rasul-Nya, karena Allah mewajibkan makhluk-Nya untuk mentaati Rasul-Nya dan mematuhi hukum-hukumnya. Juga orang-orang yang menerima apa yang datang dari Rasululloh, berarti ia menerima apa yang datang dari Allah, karena Allah telah mewajibkan kita untuk mentaati-Nya. ( Ar risalah:33).
Berikut ini contoh orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus dalam masalah ini:
a. Kelompok yang menolak sunnah secara keseluruhan ( kelompok ini dikenal dengan quraniyun)
b. Kelompok yang menolak hadits ahad baik dalam hukum atau aqidah.
c. Kelompok yang menolak hadits ahad dalam aqidah. Mereka hanya berhujah denga hadits mutawatir.
d. Kelompok yang menolak Hadits dengan alasan bertentangan dengan zhohir Al Qur`an.
e. Kelompok yang menolak Hadits dengan alasan bertentangan dengan akal.
f. Kelompok yang menolak Hadits dengan alasan bertentangan dengan penemuan ‘ilmiah.
Diantara kelompok yang terang-terangan menolak sunnah adalah Kaum Rofidoh, yang mengkafirkan jumhur As Shohabat. Karena mengkafirkan para shohabat berarti penolakan terhadap sunnah secara total.
Para tokoh pengingkar Sunnah, diantaranya:
•Abdullah bin saba’ Al Yahudi
•Suusan An Nashrani
•Ibrohim An Nadzom Al Mu’tazili
•Bisyir Al Mirisi
•Jahm bin Shofwan
•Muhammad ‘Abduh.


Nama: Nafid B.A
Nim : 07310045

PEMBAGIAN HADITS DITINTAU DARI JUMLAH PERAWI

Hadits ditinjau dari adad dan periwayatannya itu terbagi kepada dua bagian :
1. Hadits Mutawatir
2. Hadits Ahad

A. HADITS MUTAWATIR
Pengertiannya :
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan.
Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”.

Syarat-Syaratnya :
Dari definisi di atas jelaslah bahwa hadits mutawatir tidak akan terwujud kecuali dengan empat syarat berikut ini :
1. Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
2. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
3. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta.
4. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
Apakah untuk Mutawatir Disyaratkan Jumlah Tertentu ??
1. Jumhur ulama berpendapat bahwasannya tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam mutawatir. Yang pasti harus ada sejumlah bilangan yang dapat meyakinkan kebenaran nash dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.

2. Diantara mereka ada yang mensyaratkan dengan jumlah tertentu dan tidak boleh kurang dari jumlah tersebut.
a. Ada yang berpendapat : Jumlahnya empat orang berdasarkan pada kesaksian perbuatan zina.
b. Ada pendapat lain : Jumlahnya lima orang berdasarkan pada masalah li’an.
c. Ada yang berpendapat lain juga yang mengatakan jumlahnya 12 orang seperti jumlah pemimpin dalam firman Allah (yang artinya) : ”Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin” (QS. Al-Maidah ayat 12).
Ada juga yang berpendapat selain itu berdasarkan kesaksian khusus pada hal-hal tertentu, namun tidak ada ada bukti yang menunjukkan adanya syarat dalam jumlah ini dalam kemutawatiran hadits.

Pembagian Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir terbagi menjadi dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdhy dan Mutawatir Ma’nawi .

1. Mutawatir Lafdhy adalah apabila lafadh dan maknannya mutawatir. Misalnya hadits (yang artinya) : ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.

2. Mutawatir Ma’nawy adalah maknannya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a.
Keberadaannya:
Sebagian di antara mereka mengira bahwa hadits mutawatir tidak ada wujudnya sama sekali. Yang benar (insyaAllah), bahwa hadits mutawatir jumlahnya cukup banyak di antara hadits-hadits yang ada. Akan tetapi bila dibandingkan dengan hadits ahad, maka jumlahnya sangat sedikit.
Misalnya : Hadits mengusap dua khuff, hadits mengangkat tangan dalam shalat, hadits tentang telaga, dan hadits : ”Allah merasa senang kepada seseorang yang mendengar ucapanku…..” dan hadits ”Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf”, hadits ”Barangsiapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun untuknya rumah di surga”, hadits ”Setiap yang memabukkan adalah haram”, hadits ”Tentang melihat Allah di akhirat”, dan hadits ”tentang larangan menjadikan kuburan sebagai masjid”.

Mereka yang mengatakan bahwa hadits mutawatir keberadaannya sedikit, seakan yang dimaksud mereka adalah mutawatir lafdhy, sebaliknya…..mutawatir ma’nawy banyak jumlahnya. Dengan demikian, maka perbedaan hanyalah bersifat lafdhy saja.

Hukum Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan kita akan adanya Makkah Al-Mukarramah, Madinah Al-Munawarah, Jakarta, New York, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka hadits mutawatir adalah qath’I tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya .

B. KHABAR AHAD

Pengertiannya :
Khabar Ahad menurut bahasa jama dari kata ahada yang artinya satu, dan apa-apa yang diriwayatkan oleh satu rowi saja.
Dan menurut istilah adalah apa-apa yang mempunyai satu jalan dan a da yang berpendapat apa-apa yang tidak berkumpul padanya syarat mutawatir.
Pembagiannya :
Khabar Ahad terbagi menjadi tiga bagian :
1. Mashur
2. Aziz
3. Gharib
a. MASYHUR
Pengertiannya :
Masyhur menurut bahasa adalah berita yang terkenal secara lisan sekalipunkeadaan nya berdusta.
Sedangkan menurut istilah adalah apa-apa yang diriwayatkan oleh tiga rowi atau lebih dan akan tetapi tidak akan sampai batas kemutawatirannya.
Sedangkanmenurut Ibnu Hajar Al Asqolani : Masyhur dalah apa-apa yang mempunyai beberapa jalan yang yang lebih dari dua rowi akan tetapi tidak sampai pada derajat mutawatir.
Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir.
Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi (artinya) : ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan” (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).

Hadits masyhur ini juga disebut dengan nama Al-Mustafidh.

Hadits masyhur di luar istilah tersebut dapat dibagi menjadi beberapa macam yang meliputi : mempunyai satu sanad, mempunyai beberapa sanad, dan tidak ada sanad sama sekali; seperti :a. Masyhur di antara para ahli hadits secara khusus, misalnya hadits Anas : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah berdiri dari ruku’ berdoa untuk (kebinasaan) Ra’l dan Dzakwan” (HR. Bukhari dan Muslim
b. Masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama dan orang awam, misalnya : ”Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
c. Masyhur di antara para ahli fiqh, misalnya : ”Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq” (HR. Al-Hakim; namun hadits ini adalah dla’if).
d. Masyhur di antara ulama ushul fiqh, misalnya : ”Telah dibebaskan dari umatku kesalahan dan kelupaan…..” (HR. Al-hakim dan Ibnu Hibban).

e. Masyhur di kalangan masyarakat umum, misalnya : ”tergesa-gesa adalah bagian dari
perbuatan syaithan” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan. Lihat Nudhatun-Nadhar halaman 26 dan Tadribur-Rawi halaman 533).
Macam-macamnya “
- Mutlaq : adalah apa-apa yang tekenal diantara Ahli-ahli hadist dan yang lainnya
- Muqoyad : Adalah apa-apa yang terkenal dikalangan ahli-ahli yang khusus dikalangan rowi yang cacat.
b. AZIZ
Pengertiannya :
Aziz menurut istilah apa-apa yang diriwayatkan oleh dua rowi atau lebih
Dan ada yang berpendapat bahwasanya aziz itu apa-apa yang diriwayatkan oleh dua rowi dalam satu tobaqoh.
Contohnya : Nabi shallallaahu bersabda : ”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia” (HR. Bukhari dan Muslim; dengan sanad yang tidak sama).
Keterangan : Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalan Anas. Dan diriwayatkan pula oleh Bukhari dari jalan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma.
Susunan sanad dari dua jalan tersebut adalah : Yang meriwayatkan dari Anas = Qatadah dan Abdul-‘Aziz bin Shuhaib. Yang meriwayatkan dari Qatadah adalah Syu’bah dan Sa’id. Yang meriwayatkan dari Abdul-‘Aziz adalah Isma’il bin ‘Illiyah dan Abdul-Warits.
c. Gharib
Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan hadits gharib secara istilah adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri.
Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib).
Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard.
Pembagian Hadits Gharib
Hadits gharib dilihat dari segi letak sendiriannya dapat terbagi menjadi dua macam :
1. Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :

”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits..
2. Gharib Nisbi, disebut juga : AL-Fardun-Nisbi; yaitu apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu ‘anhu : ”Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mesuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya”” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu.

C. IMAM SYAFI'I DAN PENGINGKAR HADITS AHAD
Usaha untuk menggunakan dalil yang jelas untuk membangun Aqidah Umat Islam dengan jalan membatasinya pada dalil-dalil Qoth’I, terus kami lakukan. Dan untuk memberikan keyakinan tentang masalah ini kami akan mengetengahkan argumentasi dari para Imam panutan umat untuk membantah mereka yang menyangkal prinsip yang mulia ini.
Salah sate argumentasi yang mereka ketengahkan untuk mendukung pendapat mereka adalah adanya klaim bahwa para Imam termasuk Imam Empat Madzab a.l: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal, dimana mereka telah sepakat bahwa periwayatan secara Ahad (khobar Ahad-pent) memberikan pengetahuan yang pasti dan dapat digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah.
Dan apa yang sesungguhnya dikatakan para Imam bertentangan dengan klaim diatas. Faktanya tatkala kita membaca Kitab yang ditulis para Imam ini dan para muridnya dan para Ulama sesudahnya yang mengikuti jejak para Imam Ahlus Sunnah ini, akan mendapatkan bahwa mereka berpegang dengan pendapat yang menyatakan bahwa: “Khobar Ahad tidak memberikan pengetahuan yang pasti (dzon-pent)”, tetapi khobar ini memberikan pengetahuan minimal dugaan keras (dzon rajih), walaupun terbukti bahwa sanadnya shohih dan digunakan hanya sebagai dalil dalam masalah amal perbuatan, tetapi tidak dalam masalah aqidah.
Banyak orang telah menyatakan bahwa para Imam menerima hadis ahad sebagai dalil yang memberi kepastian (qoth’I-pent) dan digunakan sebagai dalil dalam masalah aqidah. Bagaimanapun apa yang telah mereka lakukan, jelas merupakan penukilan yang tidak sesuai dengan pernyataan para Imam khususnya Imam Empat Madzab. Para Imam ini membuat berbagai pernyatan berkaitan berkaitan dengan masalah khobar ahad, dalam rangka membantah pendapat kelompok-kelompok bid’ah pada masanya, yang telah menolak khobar ahad sebagai dalil secara keseluruhan baik dalam masalah aqidah atau masalah amal perbuatan.
Untuk dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang posisi para Imam dalam masalah ini, kita harus mengkaji secara langsung dari kitab-kitab yang ditulis oleh para Imam ini dan para murid-muridnya yang terpercaya. Dimana mereka (murid para Imam-pent) mendengar dan mendapat penjelasan secara langsung dari para gurunya. Pemahaman mereka terhadap masalah ini (masalah khobar ahad-pent) merefleksikan pemahaman para gurunya, dan sudah seharusnya kita mempercayai pemahaman mereka lebih dari pemahaman kita sendiri setelah mengkaji dan mempelajari kitab para Ulama tersebut.
Oleh karena itu marilah kita meneliti apa pedapat Imam Empat Madzab dan para muridnya dan para Ulama sesudahnya yang menjadi pengikutnya sebagai berikut:
Imam Syafi’I berkata: Setiap apa saja yang datang dari Sunnah adalah penjelasan Kitabullah. Maka setiap orang yang menerima hal-hal yang Fardhu dari Allah yang terdapat dalam Al Qur`an, ia mesti menerima Sunnah-sunnah Rasul-Nya, karena Allah mewajibkan makhluk-Nya untuk mentaati Rasul-Nya dan mematuhi hukum-hukumnya. Juga orang-orang yang menerima apa yang datang dari Rasululloh, berarti ia menerima apa yang datang dari Allah, karena Allah telah mewajibkan kita untuk mentaati-Nya. ( Ar risalah:33).
Berikut ini contoh orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus dalam masalah ini:
a. Kelompok yang menolak sunnah secara keseluruhan ( kelompok ini dikenal dengan quraniyun)
b. Kelompok yang menolak hadits ahad baik dalam hukum atau aqidah.
c. Kelompok yang menolak hadits ahad dalam aqidah. Mereka hanya berhujah denga hadits mutawatir.
d. Kelompok yang menolak Hadits dengan alasan bertentangan dengan zhohir Al Qur`an.
e. Kelompok yang menolak Hadits dengan alasan bertentangan dengan akal.
f. Kelompok yang menolak Hadits dengan alasan bertentangan dengan penemuan ‘ilmiah.
Diantara kelompok yang terang-terangan menolak sunnah adalah Kaum Rofidoh, yang mengkafirkan jumhur As Shohabat. Karena mengkafirkan para shohabat berarti penolakan terhadap sunnah secara total.
Para tokoh pengingkar Sunnah, diantaranya:
•Abdullah bin saba’ Al Yahudi
•Suusan An Nashrani
•Ibrohim An Nadzom Al Mu’tazili
•Bisyir Al Mirisi
•Jahm bin Shofwan
•Muhammad ‘Abduh.

0 komentar:

Posting Komentar