rss
twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

Pages

Jacques Derrida


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyak orang yang mengatakan bahwa karya-karya Derrida sangat sulit ditafsirkan , karena menurut Derrida selama ini ilmu filsafat hanya berani menilai dan menghakimi jenis sastra lain namun tidak mau disebut sebagai salah satu jenis sastra. Derrida sangat keberatan terhadap para filusuf yang menganggap diri mereka sebagai pengamat yang obyektif, mereka selalu berfikir bahwa disiplin ilmunya mempunyai hak untuk melemparkan pertanyaan mendasar terhadap disiplin ilmu lainnya.
Bagi Derrida, filsafat tidak dapat dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Tidak masuk akal jika dikatakan bahwa ilmu pengetahuan sedang menyingkirkan filsafat atau bahwa filsafat sudah tidak mempunyai lingkup gerak lagi karena perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Derrida antara ilmu pengetahuan dan filsafat merupakan hal yang sama, karena keduanya berakar dalam rasionalitas yang sama.
Secara filosofis tujuan untuk melakukan dekonstruksi tidak hanya untuk menunjukkan bahwa hukum-hukum� pemikiran itu tidak lengkap. Akan tetapi kecenderungan yang tampak jelas dalam oeuvre Derrida adalah untuk membangkitkan pengaruh, untuk membuka wilayah baru dalam dunia filsafat sehingga terus bisa menjadi ajang kreatifitas dan penemuan baru. Dekonstruksi memang kata yang sulit untuk didefinisikan, dan Derrida sendiri menolak untuk mendefinisikannya. Namun menurut Derrida dekonstruksi bukanlah sebuah mode atau teknik atau sebuah gaya kritik sastra atau sebuah prosedur untuk menafsirkan teks.
Inti dari dekonstruksi ini berhubungan dengan bahasa, dekonstruksi adalah semua yang ditolaknya. Konsep ini memakai asumsi filsafat atau filologi untuk menghantam logosentrisme. (Sutrisno, 2005, 171)
Fokus utama Derrida adalah bahasa tulisan atau teks, Ia menginginkan setiap manusia dalam membaca teks tidak dengan serta merta terlalu cepat menyimpulkan atau menyingkap arti dalam setiap teks yang dibacanya. Derrida menunjukkan berbagai kesulitan yang ada dalam teori-teori yang memaksa diri mencari keberadaan arti tunggal, baik dengan mengacu pada maksud penulis, aturan-aturan bahasa, maupun pengalaman pembaca. Karena Derrida percaya bahwa sebuah teks senantiasa berkorelasi dan mempunyai konteks sehingga selalu mengandung kemungkinan arti-arti yang lain.
Dengan Dekonstruksi ini Derrida menyerang ilmu filsafat yang dituduh terlalu logosentris dan obyektivistis. Bagi Derrida tidak ada bahasa yang dibatasi oleh dasar trasenden dan baginya mencari dasar transenden bagi bahasa adalah sesuatu yang sia-sia. Menurut Derrida tulisan tidak mempunyai acuan di luar dirinya. Karena itu prinsip utama ilmu filsafat haruslah berupa sistem simbol yang tidak mendasarkan diri pada apa pun yang ada di dalam dirinya, kecuali bahasa. Dan bagi Derrida tujuan ilmu filsafat adalah bukan mempertahankan atau menjelaskan sistem-sistem ini melainkan merobohkannya, atau dengan kata lain merobohkan pendekatan lama yang selalu merujuk pada maksud penulis aslinya menuju pada penemuan arti teks dari luar dirinya.
B. Rumusan Masalah
a. Siapakah Jacques Derrida?
b. Bagaimanakah memposisikan Derrida?
c. Apakah maksud ungkapan “Dari Oposisi Biner ke Metafisika Kehadiran”?
d. Apakah maksud dari diffarance dan difference?
e. Bagaimanakah sejarah lahirnya teori dekontruksi?
f. Bagaimanakah penerapan dan sistematika dekonstruksi?
g. Bagaimanakah pengaruh dekonstruksi terhadap kajian budaya?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui Jacques Derrida
b. Untuk mengetahui cara memposisikan Derrida
c. Untuk mengetahui ungkapan “Dari Oposisi Biner ke Metafisika Kehadiran”.
d. Untuk mengetahui maksud dari diffarance dan difference
e. Untuk mengetahui sejarah lahirnya teori dekontruksi
f. Untuk mengetahui penerapan dan sistematika dekonstruksi
g. Untuk mengetahui pengaruh dekonstruksi terhadap kajian budaya

BAB II
PEMBAHASAN
A. Jacques Derrida
Jacques Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, yang dianggap sebagai tokoh penting post-strukturalis-posmodernis. Derrida lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di El-Biar dekat Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia kuliah dan akhirnya mengajar di École Normale Supérieure di Paris. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004.[1]
Derrida muda dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersikap diskriminatif. Ia mundur atau dipaksa mundur dari sedikitnya dua sekolah, ketika ia masih anak-anak, semata-mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari sebuah sekolah, karena ada batas kuota 7 persen bagi warga Yahudi. Meskipun Derrida mungkin tidak akan suka, jika dikatakan bahwa karyanya diwarnai oleh latar belakang kehidupannya ini, pengalaman kehidupan ini tampaknya berperan besar pada sikap Derrida yang begitu menekankan pentingnya kaum marginal dan yang lain, dalam pemikirannya kemudian.
Derrida dua kali menolak posisi bergengsi di Ecole Normale Superieure, di mana Sartre, Simone de Beauvoir, dan mayoritas kaum intelektual serta akademisi Perancis memulai karirnya. Namun, akhirnya ia menerima posisi itu pada usia 19. Ia kemudian pindah dari Aljazair ke Perancis, dan segera sesudahnya ia mulai berperan utama di jurnal kiri Tel Quel.
Karya awal Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi. Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata Edmund Husserl. Inspirasi penting lain bagi pemikiran awalnya berasal dari Nietzsche, Heidegger, De Saussure, Levinas dan Freud. Derrida mengakui utang budinya kepada para pemikir itu dalam pengembangan pendekatannya terhadap teks, yang kemudian dikenal sebagai 'dekonstruksi'.
Karier profesional Derrida dimulai sejak dia menjadi mahasiswa filsafat di Ecole Normale Superieure, Paris. Tulisan-tulisan yang dihasilkannya mengandaikan pembaca memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang disiplin flsafat.[2]
Pada 1967-1984 Derrida sudah menjadi filsuf penting kelas dunia. Ia menjabat sebagai dosen tetap (maitre-assistant) untuk bidang filsafat di Ecole Normale Superieure, sementara ia pun sering memberikan kuliah tamu ke universitas-universitas Amerika, terutama John Hopkins dan cherche sur I’enseignement de la philosophie (GREPH) yang berhasil menggagalkan upaya pemerintahan untuk membatasi pengajaran filsafat. Ia menerbitkan tiga karya utama (Of Grammatology, Writing and Difference, dan Speech and Phenomena). Seluruh karyanya ini memberi pengaruh yang berbeda-beda, namun Of Grammatology tetap karyanya yang paling terkenal. Pada Of Grammatology, Derrida mengungkapkan dan kemudian merusak oposisi ujaran-tulisan, yang menurut Derida telah menjadi faktor yang begitu berpengaruh pada pemikiran Barat.
Keasyikan Derrida dengan bahasa dalam teks ini menjadi ciri khas sebagian besar karya awalnya. Sejak penerbitan karya-karya tersebut serta teks-teks penting lain (termasuk Dissemination, Glass, The Postcard, Spectres of Marx, The Gift of Death, dan Politics of Friendship), dekonstruksi secara bertahap meningkat, dari memainkan peran utama di benua Eropa, kemudian juga berperan penting dalam konteks filosofis Anglo-Amerika. Peran ini khususnya terasa di bidang kritik sastra, dan kajian budaya, di mana metode analisis tekstual dekonstruksi memberi inspirasi kepada ahli teori, seperti Paul de Man.[3]
Dekonstruksi sering menjadi subyek kontroversi. Ketika Derrida diberi gelar doctor honoris causa di Cambridge pada 1992, banyak protes bermunculan dari kalangan filsuf “analitis.” Sejak itu, Derrida juga mengadakan banyak dialog dengan filsuf-filsuf seperti John Searle, yang sering mengeritiknya.
Bagaimanapun, dari banyaknya antipati tersebut, tampak bahwa dekonstruksi memang telah menantang filsafat tradisional lewat berbagai cara penting. Derrida dianggap sebagai salah satu filsuf terpenting abad ke-20 dan ke-21. Istilah-istilah falsafinya yang terpenting adalah différance dan dekonstruksi.
B. Memposisikan Derrida
Tidak mudah memahami pemikiran Derrida. Untuk memudahkan mempelajarinya, kita coba menempatkannya dalam konteks pergeseran pemikiran pada era 1950-an sampai 1970-an, dari modernitas ke posmodernitas, dan dari strukturalisme ke post-strukturalisme. De Saussure, Chomsky, Jacobson dan Levi-Strauss mewakili kalangan strukturalis-modernis. Sedangkan Derrida bersama Lacan, Kristeva, Foucault, Barthes, dan Baudrillard, “bisa dikatakan” mewakili post-strukturalis-posmodernis.
Pemikiran kalangan posmodernis itu sendiri bisa dibagi tiga. Pertama, yang merevisi pemikiran modernitas, namun cenderung kembali ke pola pemikiran pra-modern seperti metafisika New Age. Tokohnya seperti Capra, Zukav, dan sebagainya. Kedua, pemikiran yang merevisi modernisme tanpa menolaknya mentah-mentah, melainkan melakukan perbaikan di sana-sini yang dirasa perlu. Jadi, semacam kritik imanen terhadap modernism, dalam rangka mengatasi konsekuensi negatifnya. Mereka di antaranya: Habermas, Whitehead, Gadamer, Rorty, dan Ricoeur.
Ketiga, pemikiran yang memandang bahwa sisi gelap dari modernitas bukanlah sekadar efek samping dari pemikiran Pencerahan, melainkan sebagai sesuatu yang melekat di dalamnya. Para pemikir dari kalangan ini terkait erat dengan dunia sastra dan linguistik. Mereka ingin melampaui bahasa, yang secara tradisional dipandang sebagai cermin untuk menggambarkan dunia atau realitas.
Caranya, dengan melakukan dekonstruksi gambaran-dunia, sehingga cenderung anti-gambaran-dunia sama sekali. Gambaran-dunia yang ingin dibongkar itu, misalnya, adalah diri, Tuhan, tujuan, makna, kebenaran, dunia-nyata, dan sebagainya. Para pemikir dari kelompok ini adalah Foucault, Vattimo, Lyotard, dan Derrida.
C. Dari Oposisi Biner ke Metafisika Kehadiran
Untuk memahami Derrida, kita mencoba melacak kronologi pemikirannya dari strukturalisme Saussurean yang bernuansa modernitas tersebut. Menurut paham strukturalisme, kenyataan tertinggi dari realitas adalah struktur. Struktur itu sendiri adalah saling hubungan antar-konstituen, bagian-bagian, atau unsur-unsur pembentuk keseluruhan, sebagai penyusun sifat khas, atau karakter dan koeksistensi, dalam keseluruhan bagian-bagian yang berbeda.
Bila bahasa dilihat secara struktural, bisa disimpulkan bahwa bahasa bisa ada karena adanya sistem perbedaan (system of difference), dan inti dari sistem perbedaan ini adalah oposisi biner (binary opposition). Seperti, oposisi antara penanda/petanda, ujaran/tulisan, langue/parole.
Oposisi biner dalam linguistik ini berjalan seiring dengan hal yang sama dalam tradisi filsafat Barat, seperti: makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/imanen, baik/buruk, benar/salah, maskulin/feminin, intelligible/sensible, idealisme/ materialisme, lisan/tulisan, dan sebagainya.
Dalam oposisi biner ini terdapat hirarki. Yang satu dianggap lebih superior dari pasangannya. Misalnya, jiwa diangap lebih mulia dari badan, rasio dianggap lebih unggul dari perasaan, maskulin lebih dominan dari feminin, dan sebagainya. Dalam linguistik Saussurean, lisan (ujaran) dianggap lebih utama dari tulisan, karena tulisan dipandang hanya sebagai representasi dari lisan.
Derrida, seperti banyak teoritisi kontemporer Eropa, asyik berusaha membongkar kecenderungan oposisional biner yang mewarnai sebagian besar tradisi filsafat Barat tersebut. Dekonstruksi yang dicanangkan Derrida tidaklah mengajukan sebuah narasi besar atau teori baru tentang hakikat dunia kita. Ia membatasi diri pada membongkar narasi-narasi yang sudah ada, dan mengungkapkan hirarki-hirarki dualistik yang disembunyikan.
Oposisi biner paling terkemuka, yang dibongkar dalam karya awal Derrida, adalah antara ujaran (speech) dan tulisan (writing). Menurut Derrida, pemikir-pemikir seperti Plato, Rousseau, De Saussure, dan Levi-Strauss, semua telah melecehkan kata tertulis dan lebih mengutamakan ujaran, dengan mengontraskan, dan menempatkan ujaran sebagai semacam saluran murni bagi makna.
Argumen mereka adalah kata-kata yang diucapkan adalah simbol dari pengalaman mental (makna, kebenaran). Sedangkan kata-kata tertulis –sebagai sekadar representasi dari ujaran-- hanyalah turunan kedua, atau sekadar simbol dari simbol yang sudah ada (ujaran) tersebut. Ujaran menurut De Saussure adalah kesatuan petanda (signifie) dan penanda (signifiant), yang dianggap kelihatan menjadi satu dan sepadan, yang membangun sebuah tanda (sign). Makna atau kebenaran adalah petanda, yaitu isi yang diartikulasikan oleh penanda yang berupa suara/bentuk.
Kebenaran yang semula berada di luar penanda (eksternal), kemudian menjadi lekat dengan penanda itu sendiri dalam bahasa. Dia bisa hadir lewat penanda. Kesatuan antara bentuk (penanda) dan isi (petanda) inilah yang disebut Derrida sebagai metafisika kehadiran (metaphysic of presence). Metafisika kehadiran, yang terkadang disebut logosentrisme, berasumsi bahwa sesuatu yang bersifat fisik (penanda) dan yang melampaui fisik (petanda) dapat hadir secara bersamaan, dan hal ini hanya mungkin dalam ujaran, bukan tulisan.
Tanpa mempersoalkan rincian tentang cara para pemikir itu menetapkan dan membenarkan oposisi hirarkis semacam ini, penting untuk diingat bahwa strategi pertama dekonstruksi adalah membalikkan oposisi-oposisi yang sudah ada. Derrida menyangkal oposisi-oposisi biner semacam itu, dan akhirnya juga menolak kebenaran tunggal atau logos itu sendiri.
D. Differance dan Difference
Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to-self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran.
Sebagai contoh, dalam keseluruhan bab Course in General Linguistics karya Ferdinand de Saussure, Saussure mencoba membatasi ilmu linguistik hanya pada fonetik (phonetic) dan kata yang bisa didengar (audible word). Dalam penyelidikan ini, Saussure sampai mengatakan bahwa "bahasa dan tulisan adalah dua sistem tanda yang berbeda: yang kedua eksis semata-mata hanya untuk representasi dari yang pertama". Bahasa, tegas Saussure, memiliki tradisi oral yang independen dari penulisan, dan keindependenan inilah yang membuat sebuah ilmu murni ujaran dimungkinkan.
Derrida dengan berapi-api menolak hirarki ini. Derrida sebaliknya berargumentasi bahwa semua yang bisa diklaim terhadap tulisan –seperti, bahwa itu sekadar merupakan turunan (derivatif) dan hanya merujuk ke tanda-tanda lain— sebenarnya juga sama berlaku terhadap ujaran.
Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain dan kita tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun lebih benar jika dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda. Dan proses perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak akan pernah sampai ke makna itu sendiri.
Inilah pengertian “tulisan” yang ingin ditekankan Derrida. Derrida menggunakan istilah arche-writing, yakni tulisan yang merombak total keseluruhan logika tentang tanda. Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan (atau tanda) sederhana, yang dengan mudah dianggap mewakili makna tertentu.
Dilihat dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan telah ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih “istimewa” daripada ujaran. Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Tulisan merupakan proses perubahan makna terus-menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos).
Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak kaki, yang harus kita telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si empunya kaki (yang kita anggap sebagai makna yang mau dicari). Proses berpikir, menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagai differance.
Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer yang bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan/menunda.” Kita tak bisa membedakan differance dan difference hanya dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini, yang sekaligus membuktikan tulisan lebih unggul ketimbang ujaran, sebagaimana diyakini Derrida.
Jika kata terucap (ujaran) membutuhkan tulisan untuk bisa berfungsi secara memadai, seperti ambiguitas dalam kata differance dan difference tersebut, maka ujaran itu sendiri selalu berjarak dari setiap apapun yang diklaim sebagai kejelasan kesadaran (clarity of consciousness). Pernyataan Derrida ini secara tegas telah membantah habis argumen De Saussure, yang berusaha memisahkan ujaran dan tulisan, dan melecehkan tulisan sebagai sesuatu yang nyaris tidak dibutuhkan oleh ujaran.
Differance adalah permainan perbedaan-perbedaan, jejak-jejak dari perbedaan-perbedaan, dan penjarakan (spacing), yang dengan cara tersebut unsur-unsur dikaitkan satu sama lain. Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna absolute,” makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh De Saussure dan oleh pemikiran modern pada umumnya.
Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya.
Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang “ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.
E. Sejarah Lahirnya Teori Dekonstruksi
Sebelum kita membicarakan teori dekonstruksi, alangkah baiknya kita membahas dulu dengan yang namanya teori postrukturalisme. karena dekonstruksi ini lahir karena adanya postrukturalisme. Bisa dikatakan teori dekonstruksi merupakan salah satu diantara teori yang ada pada postrukturalisme, diantaranya yakni resepsi, interteksi, feminis, poskolonial, dan dekonstruksi.
Dasar teori postrukturalisme adalah strukturalisme, sedangkan strukturalisme itu sendiri lahir melalui formalisme rusia. Yang mana menurut teori strukturalis “makna (petanda) selalu dihasilkan dalam kaitannya dengan penanda, makna sebagai hasil artikulasi lambang-lambang, makna sebagai hasil perbedaan antara dua penanda.[4]
Teori ini mulai berkembang pada awal abad ke- 20( 1915-1930) dengan tokoh-tokoh Roman Jakobson, Victor Shklovsky, Boris Einhenbaum, Dan Jurij Tynjanov. Konsep dasar formalis adalah ciri-ciri khas kesustraan, seperti pola-pola suara dan kata-kata formal dalam satra, bukan isi.
Teori strukturalisme yang berkembang sejak tahun 1930, yang mana setelah dievalusi dalam kurun waktu kurang lebih setengah abad, maka pada tahun 1980-an munculah teori postrukturalisme dengan mempersempit pretensi-pretensi ilmiahnya.
Hubungan antara strukturalisme dengan postrukturalisme sangat komplek sekali, menurut teewu ( 1988: 139-140) strukturalisme dianggap lemah karena : a) belum memiliki syarat sebagai teori yang legkap, b) karya seni tidak bisa lepas dari yang namanya sosial, c)karya dilepaskan dari relevansi objektif karya. oleh karena itulah,strukturalisme perlu disempurnakan, yang secara keseluruhan disempurnakan oleh postrukturalisme.
Dengan adanya penyempurnaan tersebut, maka secara definitif postrukturalisme adalah teori-teori sastra sesudah strukturalisme. Yang mana mempunyai persamaan dan perbedaan, dikatakan memounyai persamaan karena sama-sama memandang struktur yakni unsur-unsur dengan mekanisme antarhubungannya sebagai masalah yang lain. Dan dikatakan mempunyai perbedaan karena strukturalisme memandang antarunsur dengan mekanisme hubungan yang relative stabil, bahkan statis. Sedangkan postrukturalisme memandang model hubungan tersebut bersifat labil dan dengan sendirinya dinamis.
Oleh karena itulah, dalam strukturalisme karya sastra dinilai atas dasar yang sudah terkandung sebelumnya, bukan atas dasar kemampuan karya dalam membangun dunianya sendiri. maka disinilah postrukturalisme menawarkan teori yang dikenal dengan sebutan dekonstruksi. Tujuannya adalah pluralisme, perbedaan merupakan hakekat yang wajar, perbedaan justru memberikan pengakuan pada unsur lain.
Dengan kata lain, ciri khas postrukturalisme adalah dekonstruksi, strukturalisme sekaligus penyempurnaan terhadap sifat-sifat laten strukturalisme. struktururasi teks dalam kaitannya dengan peran pembaca, maka dekonstruksi identik dengan resepsi satra. Pemahaman teks dalam kaitannya dengan ciri-cirinya sebagai jaringan, dekonstruksi identik dengan interaksi, seperti contoh apabila teks dikaitkan dengan perempuan dan masalah kolonial, maka dekonstruksi identik dengan feminis dan postkolonial.
Sebagai ciri khas postrukturalisme, dekonstruksi dikembangkan atas dasar pemahaman sepihak tradisi kritik, yaitu yang semata-mata memberikan perhatian terhadap ucapan tanpa memperhatikan tulisan. Dominasi inilah yang harus didekstruksi, yang sebagian besar dikemukakannya dalam bukunya yang terkenal yang berjudul of grammatology (1076), yang secara etimologis berasal dari grammer, yang berarti tulisan.
Dekonstruksi pada awalnya adalah pembacaan teks pada sastra, ia bergerak di wilayah sastra. Namun pada akhirnya dekonstruksi masuk ke dalam seluruh wacana filsafat. Jadi dekonstruksi itu pembacaan filsafat secara sastrawi. Dekonstruksi adalah metode membaca teks secara sangat cermat hingga menemukan ketidakkonsistenan dan paradoks dalam konsep-konsep teks secara keseluruhan.
Disamping itu dekonstruksi mempunyai kelebihan dan kekurangan. diantara kelebihnya adalah Dekonstruksi menolak kemapanan. Menolak obyektivitas tunggal dan kestabilan makna. Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran.
Itulah kelebihan Dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu obyek tanpa batas. Ruang makna terbuka luas. Tafsiran-tafsiran bertumbuh biak. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-makna lain. Demikian seterusnya. Sehingga demikian bebas dan banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekontruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tidak berarti lagi.
Diantara kelemahan teori dekonstruksi adalah:
1. Kebebasan tanpa batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi makna. Retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang dapat mengurangi nilai dan obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk ditelaah.
2. Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an atau asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat menimbulkan apatisme dan ketidakpercayaan terhadap makna.
3. Dekonstruksi tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk revitalisasi makna sebelum membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran yang lebih bugar. Dengan demikian, kejenuhan dan kebiasa-biasaan pemaknaan dapat dicegah.
4. Tidak adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil penghancuran makna karena makna-makna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak mungkin justru memberi nilai tambah bagi makna-makna baru.
Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrinda, yang mana dia seorang yahudi yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di perancis. Sebagai aliran filsafat dekonstruksi lahir di perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh besar di amerika sekitar tahun 1979-an hinga tahun 1980-an.
Disamping itu ada tokoh yang mengilami teori dekonstruksi yakni Nietzsche, Freud, Husserl dan Heidegger.[5]
Demikianlah Jacques Derrida menjdi terkenal karena konsep dekonstruksinya yang mana beliau berhasil untuk meyakinkan para pembaca bahwa setelah setengah abad perkembangan strukturalisme, beliau berhasil mengungkapkan kompleksitas sekaligus kelemahannya.
F. Penerapan dan Sistematika Dekonstruksi
Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan.
Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.
Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati. Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif.
Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.”
Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat.
Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.
Oleh karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan untuk kepentingan filosofis.
Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar.
Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks.
Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah: Pertama, mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.
Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.
Dengan langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.
G. Pengaruh Dekonstruksi Terhadap Kajian Budaya
Dalam kajian budaya, dekonstruksi Derrida memberi pengaruh penting. Berkat dekonstruksi Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran universal, dan kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi bisa diterima.
Secara sepintas, seolah-olah tidak ada tawaran “konkret” dari metode dekonstruksi. Namun, yang dimaui oleh dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Teks dan kebudayaan tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan sebagai arena pertarungan yang terbuka. Atau tepatnya, permainan antara upaya penataan dan chaos, antara perdamaian dan perang, dan sebagainya.
Dalam kesusastraan, misalnya, dekonstruksi ditujukan sebagai metode pembacaan kritis yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks yang berkonflik dengan maksud pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi dimaksudkan untuk menangkap makna yang dimaksudkan pengarang, melainkan justru untuk memproduksi makna-makna baru yang plural, tanpa klaim absolut atau universal.
Dalam proses itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi netral tatkala menganalisis suatu teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk oleh teks-teks yang pernah ia baca. Teks itu sendiri juga tidak bisa diasalkan maknanya semata-mata pada gagasan si pengarang, karena pikiran pengarang juga merujuk kepada gagasan-gagasan pengarang lain yang mempengaruhinya.
Dekonstruksi, seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana, penghargaan terhadap perbedaan, dan membuka diri terhadap yang lain (the other).
Penghargaan terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, masyarakat, dan kebudayaan pada umumnya.
Penelitian yang bersifat lokal, atau etnik, dan sebagainya kini mendapat tempat, dan pada gilirannya akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau narasi-narasi khas masing-masing. Mungkin, inilah salah satu sumbangan penting dekonstruksi Derrida terhadap kajian budaya.

BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Mencoba memahami kedua konsep yang dikemukakan oleh Derrida diatas memang sangat sulit dan membutuhkan usaha yang lebih. Namun dari sini terlihat bahwa pemikiran Derrida terus konsisten dan terus berusaha untuk melepaskan diri dari jeratan pemikiran modern.
Pada konsep difference terlihat usaha Derrida untuk mengkritik persoalan otoritas dan kekuasaan pemikiran modern yang sangat berpihak pada bahasa lisan yang selalu dianggap sebagai bahasa yang mengungkapkan realitas. dari sini juga terlihat bahwa Derrida bukanlah orang yang setuju adanya kebenaran tunggal, obyektif dan universal.
Pada konsep dekonstruksi terlihat bahwa Derrida berusaha mengadakan perubahan dengan sesuatu yang dihasilkannya sendiri. Derrida percaya bahwa untuk melawan pemikiran modern yang percaya akan kebenaran tunggal, obyektif dan universal maka kita harus berani untuk melakukan penghancuran atau dekonstruksi yang kemudian dilakukan perobakan dan perbaikan pola pikir sehingga didapatkan cara berpikir baru yang lebih terbuka, dan mau menerima pendekatan apa saja dalam mendekati realita sebagai teks.

REFERENSI
Ali Maksum, “Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme”, (Jogjakarta: Arr-Ruzz Media, 2008), hal.280.
Christopher Norris, Membongkar Teori Dekontruksi Jacques Derrida, (Jogjakarta: Arr-Ruzz Media, 2006), hal 55.
Satrio Arismunandar, dekontruksi Derrida dan Pengaruhnya Pada Kajian Budaya,
05 January 2009.
Nyoman Kutha Ratna, Teori Metode dan Teknik penelitian Sastra, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, November 2009), hal 159.
M. Farhan Ramli, teori dekonstruksi derrida, selasa19 mei 2009, http//wordpress.com, diakses 2 Mei 2010.



[1] Ali Maksum, “Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme”, (Jogjakarta:Arr-Ruzz Media, 2008), hal.280.
[2] Christopher Norris, Membongkar Teori Dekontruksi Jacques Derrida, (Jogjakarta: Arr-Ruzz Media, 2006), hal 55.
[3] Satrio Arismunandar, dekontruksi Derrida dan Pengaruhnya Pada Kajian Budaya, 05 January 2009.
[4] Nyoman Kutha Ratna, Teori Metode dan Teknik penelitian Sastra, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, November 2009), hal 159.
[5]M. Farhan Ramli, teori dekonstruksi derrida, selasa19 mei 2009, http//wordpress.com, diakses 2 Mei 2010.

0 komentar:

Posting Komentar